Rabu, 05 Oktober 2011

Dikotomi Ilmu Pengetahuan

“DIKOTOMI & PENTINGNYA INTEGRASI ILMU PENGETAHUAN”

PEMAKNAAN DAN AKAR TUMBUHNYA DIKOTOMI ILMU PENGETAHUAN

b. Sejarah Munculnya Dikotomi Ilmu Pengetahuan Dalam Pendidikan Islam

Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya. Bagi al-Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural.

Adanya dikotomi ilmu pengetahuan ini berimplikasi terhadap dikotomi model pendidikan. Disatu pihak ada pendidiakan yang memperdalam ilmu pengetahuan modern yang kering dari nilai-nilai keagamaan, dan sisi lain ada pendidikan yang hanya memperdalam masalah agama yang terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan. Secara teoritis makna dikotomi adalh pemisahan secara teliti dan jelas dari satu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukan kedalam yang satunya lagi dan sebaliknya.[1]

Pendikotomian ilmu yang pada awalnya memang merupakan tradisi islam lebih dari seribu tahun silam, tidak menimbulkan terlalu banyak problem dalam system pendidikan islam, hingga system pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke Dunia Islam melalui imprealisme. Hal ini terjadi karena, sekalipun dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan non agama itu telah dikenal dalam karya-karya klasik, seperti yang ditulis Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun, ia tidak mengingkari, tetapi mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing kelompok keilmuan tersebut. Berbeda dengan dikotomi yang dikenal di dunia Islam, sains modern Barat sering menganggap rendah status keilmuan ilmu-ilmu keagamaan. Ketika berbicara hal-hal yang ghaib, ilmua agama tidak bisa dipandang ilmiah karena sebuah ilmu baru bisa dikatakan ilmiah apabila objek-objeknya bersifat empiris. Padahal, ilmu-ilmu agama tentu tidak bisa menghindar dari membicarakan hal-hal yang gaib, seperti Tuhan, Malikat dan sebagainya sebagai pembicaraan pokok mereka.[2] Misalnya dalam perkembangan pendidikan islam dikenal beberapa jenis tempat belajar (lembaga) Kuttab, masjid, masjid khan, dan madrasah yang hanya memprioritaskan pengajaran ilmu-ilmu agama saja, Sedangkan teologi dan fllsafat tidak tumbuh sebagai bagian dari kurikulum pendidikan Karena, pada periode ini komunitas muslim yang saleh menerima sepenuhnya ajaran Islam tanpa reserve. Berbeda pada masa kejayaan islam, ilmu pengetahuan baik yang uum ataupun agama sama-sama mendapat kedudukan yang tinggi dimasyarakat sehingga banyak agamawan yang juga berprofesi sebagai saintis.

Dalam kajian historis, dikotomi ilmu mulai muncul bersamaan atau setidak-tidaknya beriringan dengan masa renaissance di Barat. Pada lima abad pertama Islam (abad ke-7 sampai 11 M.), para ilmuan muslim tidak mengenal pendikotomian ilmu. Karena pada saat itu, ilmu pengetahuan berpusat pada individu-individu, bukannya sekolah-sekolah. Kandungan pemikiran Islam juga bercirikan usaha-usaha individual seperti yang dikemukakan diatas.[3] Kemunduran islam dimulai ketika kejatuhan Baghdad di Timur (1258 m) dan Cordova di Barat (1236). Masa kemunduran ini dikonotasikan dengan kemunduran pendidikan yang ditandai kemunduran intelektual.[4]

Pada perkembangan selajutnya, yaitu pada akhir abad ke-11, menjelang abad ke-12 M., dikotomi ilmu mulai menjangkiti Islam, pemisahan antara ilmu agama dan umum mulai digencarkan. Yang pada saat itu, beberapa proses dan penyebab pendikotomian ilmu telah ditemukan. Madrasah, yang secara luas didasarkan pada sponsor dan kontrol Negara, umumnya telah dipandang sebagai sebab kemundurandan kemacetan ilmu pengetahuan dan kesarjanaan Islam. Tetapi madrasah dengan kurikulumnya yang terbatas, hanyalah gejala, bukan sebab sebanarnya dari kemunduran tersebut, walaupun tentu saja, ia mempercepat dan melestarikan kemacetan tersebut. Karena memang kurikulum pada saat itu hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama saja, sehingga ilmu-ilmu nonagama tidak diajarkan. Sehingga Umat Islam mengalami kemunduran dalam bidang pengetahuan dan peradaban, karena ilmu-ilmu agama cenderung mengajarkan hubungan vertikal saja. Misalnya pada madrasah Nizamiyyah, bahwa apa yang diajarkan di dalamnya masih terbuka untuk didiskusikan. Yang perlu dicatat adalah pada masa itu ada dikotomi antara ilmu agama dan nonagama. Kemenangan sunni pada masa ini, tidak diikuti dengan apresiasi semangat pencarian ilmu secara umum. Hal ini berarti bahwa ilmu-ilmu nonagama mutlak tidak diajarkan di sana.[5]

Apabila kita analisis secra mendalam ada beberapa factor penyebab terjadi dikotomi ilmu pengetahuan dalam peradaban islam yang pengaruhnya dirasakan sampai sekarang dengan adanya dualisme pendidikan, meskipun praktek dari dualisme pendidikan dalam kelembagaan sudah di praktekkan oleh orang-orang muslim jauh sebelumnya. Diantara factor tersebut yaitu:

  1. hancurnya sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan perpustakaan karena mengamuknya tentara mongol yang meludeskan kota bagdad serta dihancurkannya kekuatan umat islam di Spanyol dan terbunuhnya banyak ilmuan dalam peperangan itu.

Tentara mongol menyemblih seluruh penduduk dan menyapu bersih Baghdad dari permukaan bumi. Dihancurkannya segala macam peradaban dan pusaka yang telah dibuat beratus-ratus tahun lamanya, diangkut kitab-kitab yang telah dikarang oleh ahli ilmu pengetahuan bertahun-tahun lalu dihanyutkan ke dalam sungai Dajlah sehingga berubah warna airnya lantaran tintanya yang larut. Maka dengan berakhirnya pemerintahan abbasiyah di Baghdad ikut mengakhiri kejayaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang dirintis oleh para filsuf yang telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dimasa-masa selanjutnya. Dari sini jelas bahwasanya kehancuran kota Baghdad serta khazanah ilmu pengetahuan yang ada didalamnya mengakibatkan pengetahuan mengalami mati suri, tidak ada lagi proses eksperimen dan kajian aqliah bahkan umat islam semakin tenggelam pada kajian agama (naqliah). Yang lama kelamaan jatuh pada mistik dan khurafat.

  1. Hilangnya budaya berfikir rasional dikalangan umat islam.[6] Dalam sejarah islam kita tahu bahwa ada dua corak pemikiran yang selalu mempengaruhi cara berfikir umat islam yaitu pola pemikiran yang brsifat tradisional yang selalu mendasarkan diri pada wahyu yang kemudian berkembang menjadi pola pemikiran sufistik (pendidikan sufi), yang memperhatikan aspek batiniah. Sedangkan pola pemikiran yang rasional, yang mementingkan akal pikiran, menimbulkan pola pemikiran empiris rasional, yang sangat memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material.

Pada masa kejayaan pendidikan islam, kedua pola tersebut menghiasi dunia islam, sebagai dua pola yang berpadu dan saling melengkapi setelah pemikiran rasional diambil alih pengembangannya oleh dunia Barat (Eropa), dunia islampun meninggalkan pola berpikir tersebut, maka dalam dunia islam tinggal pola pemikiran sufistik, sehingga mengabaikan dan tidak menghasilkan perkembangna budaya islam yang bersifat material. Dari aspek inilah pendidikan dan kebudayaan islam mngelami kemunduran atau kemandekan, [7]

sehingga praktek dikotomi (pemisahan ilmu) terjadi saat umat islam berada dalam kebekuan intelektual seperti ini. Terlihat dengan tidak dimasukkannya pengetahuan (ilmu-ilmu) umum seperti filsafat yang merupakan induk dari ilmu pengetahuan, serta ilmu-ilmu umum lainnya. Yang lebih berkembang dan mendapat perhatian umat pada saat itu adalah pendidikan tradisional dimana dalam praktek madrash-madrasah sufistik sangat ditekankan. Kehidupan sufipun berkembang dengan pesat dan madrash yang ada diwarnai dengan kegiatan-kegiatan sufi. Dalam bidang fiqih berkembang taklid buta dikalangan umat, kitab-kitab fiqih lama dianggap sebagai sesuatu yang sudah baku.

Serangan Al-Ghazalipun turut membuat hilangya budaya berpikir ilmiah dikalangan umat islam, karena Imam Al-Ghazali mengkritik para filsuf dan tokoh rasionalis seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina yang dikemukakannya dalam buku Tahafut al-Falasifah. Kritik Al-Ghazali ini menyebabkan pengaruh, tradisi serta semangat ilmuan yang rasional menjadi lenyap karenanya.[8]

Dengan memperhatikan uraian di atas, maka bisa diidentifikasikan bahwa dalam sejarah pendidikan Islam pada abad klasik dan pertengahan keadaan "ilmu-ilmu agama" dan "ilmu-ilmu non agama" diberikan tidak pemah dalam satu institusi yang sama. Masing-masing ilmu tersebut tumbuh subur pada lahannya sendiri-sendiri. Dengan demikian, sejak zaman pertumbuhannya, pendidikan dalam dunia Islam telah mempraktekkan dualisme dalam sistem pendidikannya, sehingga berimplikasi terhadap perkembangan pendidikan Islam sampai sekarang termasuk juga di Indonesia, meskipun ada upaya-upaya untuk membenahinya tetapi sepertinya perkembangan pendidikan Islam ketika dalam bentuk pesantren, madrasah dan Institut Agama Islam Negeri masih belum mampu keluar dari cara pandang dikotomi tersebut.



[1] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, h. 230

[2] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Bandung: Arasy Mizan, 2005, h. 19-20.

[3] Oleh Mustamir Anwar , Sejarah Dikotomi Ilmu dan Penolakan Islam Tehadapnya, www. Google com. April 23, 2010

[4] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2005, h.237

[5] Oleh Mustamir Anwar , Op, cit.,

[6] Samsul Nizar., Op. cit., h. 233-234.

[7] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2006, h. 109

[8] Samsul Nizar, Op,cit., h. 234

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates